Badan Geologi Inkonstitusional Dalam Membahas KBAK Pangkalan
Keluarnya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3606 K/40/MEM/2015 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK) Pangkalan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tidak terlepas dari peran Badan Geologi. Sebab badan inilah yang melakukan evaluasi atas usulan penetapan KBAK dari Kepala Daerah kepada Menteri ESDM.
Begitu juga dalam penetapan KBAK Pangkalan, Badan Geologi begitu mendominasi dalam melakukan penyelidikan dan pembahasan dalam penetapan KBAK Pangkalan. Namun, dalam pembahasan tersebut terdapat dugaan kekeliruan dan inkonstitusional dalam mengusulkan luas wilayah KBAK itu.
Dugaan kekeliruan dan inkonstitusional tersebut terlihat dalam Surat Dinas Perindustrian, Perdanganan, Pertambangan dan Energi (Disperindagtamben) Kabupaten Karawang Nomor 541.3/799/Tamben, yang ditujukan kepada Plt Bupati Karawang. Surat ini menerangkan agenda rapat pada tanggal 28 Nopember 2014.
Dalam surat tersebut, Badan Geologi menyampaikan, usulan KBAK berdasarkan data lama yang kemudian dilakukan kompilasi data, hasilnya menyebutkan bahwa luas Kars di Kabupaten Karawang setelah diploting seluas sekitar 2.016 ha. Dari luas tersebut, telah ditambang sekitar 67 ha dan hasil pendataan ulang luas yang ditambang bertambah menjadi 353 ha, lahannya di luar tanah kehutanan. Lahan seluas 353 ha tersebut tidak memenuhi kriteria kars sebagaimana Permen ESDM No. 17 tahun 2012 dan pemerintah tidak sanggup membeli lahan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan bertambah luas yang ditambang dari 67 ha menjadi 353 ha.
Ada dua hal yang patut kita bedah lebih lanjut dalam pernyataan pihak Badan Geologi tersebut. Yaitu pertama, Pihak Badan Geologi menyampaikan, karena dampak penambangan sehingga kawasan seluas 353 ha menjadi rusak, maka kawasan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria kars sebagaimana Permen ESDM No. 17 tahun 2012.
Jika penetapan KBAK adalah Permen ESDM No. 17 tahun 2012, berarti pertimbangannya harus menyeluruh atas semua isi dari Permen tersebut. Tidak hanya mengacu pada satu pasal saja, sebab dalam satu produk hukum, antara satu bagian dengan bagian yang lainnya saling keterkaitan. Begitu juga antara satu regulasi dengan regulasi lainnya saling berkaitan dan tidak boleh terjadi pertentangan diantaranya. Sementara Pihak Badan Geologi hanya mempertimbangkan kriteria saja, tidak mempertimbangkan hal lainnya, baik dalam Permen ESDM No. 17 tahun 2012, maupun peraturan perundangan lainnya.
Diantara pertimbangan lain itu adalah, kerusakan kars sebagai dampak pertambangan liar tidak bisa dijadikan dasar untuk dihapusnya lahan tersebut dari KBAK, sebab kerusakan bukan karena faktor alam atau bencana alam, melainkan faktor kesengajaan yang dilakukan oleh pertambangan bahkan termasuk dampak dari faktor kelalaian pemerintah dalam mengendalikan kegiatan pertambangan. Karena penyebab kerusakan adalah pertambangan, maka regulasi yang digunakan tidak lepas dari regulasi yang mengatur kegiatan pertambangan.
Dalam kegiatan pertambangan, tidak lepas dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bahwa dalam undang undang ini, ada yang disebut reklamasi dan pascatambang, yaitu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apalagi, kegiatan pertambangan tersebut dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki izin untuk melakukan pertambangan. Maka hukuman pidana sudah dapat diterapkan dengan pasal berlapis.
Sekilas saja sudah dapat kita jawab, bahwa pertambangan yang telah merusak wilayah kars tersebut, harus melakukan reklamasi dan kegiatan pascatambang untuk memulihkan dan mengembalikan kawasan KBAK Pangkalan, bukan malah menjadikan kawasan tersebut tidak lagi menjadi KBAK.
Pernyataan Badan Geologi yang mencoret wilayah seluas 353 ha dari KBAK, juga dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan hukum atas UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertaminerba, karena penyebab kerusakan adalah pertambangan, maka regulasi iniah yang digunakan sebagai acuannya.
Dalam UU No. 4 tahun 2009, ada yang disebut reklamasi dan pascatambang, yaitu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apalagi, kegiatan pertambangan tersebut dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki izin untuk melakukan pertambangan.
Sekilas saja sudah dapat kita jawab, bahwa pertambangan yang telah merusak wilayah kars tersebut, harus melakukan reklamasi dan kegiatan pascatambang untuk memulihkan dan mengembalikan kawasan KBAK Pangkalan, bukan malah menjadikan kawasan tersebut tidak lagi menjadi KBAK.
Justru seharusnya Badan Geologi merekomendasikan agar pemerintah dan pemerintah daerah melakukan penegakkan hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 158 sampai Pasal 165 UU No. 4 tahun 2009, Pasal 97 sampai Pasal 120, UU No. 32 tahun 2009, dan Pasal 94 sampai Pasal 96 UU No. 7 tahun 2004, serta memperkuat posisi kawasan tersebut sebagai KBAK Pangkalan, bukan malah mencoretnya.
Bahwa semua potensi yang termaktub dalam Perda RTRW Karawang yang telah menetapkan KBAK Pangkalan seluas 1012,9 ha, adalah penetapan yang telah mendapatkan kekuatan hukum, sehingga tidak bisa diubah dengan cara yang gegabah dan tidak mengindahkan peraturan perundangan yang lainnya, apalagi cengan cara yang inkonstitusional.
Kedua, Badan Geologi menyatakan, penyebab meluasnya lahan yang ditambang karena “pemerintah tidak sanggup membeli lahan tersebut. Pernyataan ini jelas mengada-ada, sebab sampai saat ini belum ditemukan tentang pernyataan dari pemerintah dan pemerintah daerah yang menyebutkan ketidaktersediannya anggaran dalam melakukan pembebasan lahan tersebut.
Dengan adanya pernyataan ini, Badan Geologi telah melanggar konstitusi, sebab Pasal 33, UUD 1945 menyebutkan, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, adalah sebuah kewajiban bagi negara untuk membebaskan lahan tersebut untuk dikuasai oleh negara, sehingga dalih dicoretnya lahan yang 353 ha dari KBAK karena negara tidak mampu menguasainya, adalah pernyataan inkonstitusional.
Padahal, dalam rapat tersebut pihak Bapeda Karawang menyampaikan, berdasarkan hasil konsultasi ke Bapeda Provinsi, lahan yang ditambang seluas 353 ha masuk ke kawasan yang tercantum dalam RTRW Karawang yang luasnya 1.012 ha, jangan sampai Bapeda Karawang dalam tekanan.
Kita ketahui bersama, bahwa Perda adalah produk hukum sebagai pengejowantahan dari buah pikir yang berdasarkan pertimbangan yuridis, filosofis, sosiologis, dan historis, sehingga penetapan KBAK Pangkalan dalam RTRW Karawang, memiliki landasan yang kuat sebagai kawasan yang harus dilindungi, bukan justru malah dikurangi dengan berbagai dalih yang irasional dan inkonstitusional.
Bahkan kesimpulan rapat mengamanatkan, “tidak akan mengeluarkan wilayah yang 353 ha dari KBAK tapi akan disampaikan sebagai fakta lapangan dalam usulan kepada Kementrian ESDM Cq Badan Geologi.”
Jika melihat fakta yang tertuang dalam SK menteri ESDM tentang KBAK Pangkalan, yang isinya KBAK Pangkalan mengerucut akibat dicoretnya wilayah yang rusak dari KBAK Pangakalan sampai 63%, terdapat ketidakfahaman atas frasa yang menyebutkan, “akan dijadikan fakta lapangan sebagai bahan pertimbangan”. Padahal, menurut pemahaman orang normal dengan berlandaskan berbagai peraturan perundangan dan konstitusi, maka lahan tersebut tetap harus dimasukan dalam KBAK Pangkalan, serta harus dilakukan reklamasi dan kegiatan paska tambang atas lahan yang rusak tersebut. Sebab, penekanan atau inti dari keputusan rapat tersebut adalah pada frasa “tidak akan mengeluarkan wilayah yang 353 ha dari KBAK Pangkalan”, bukan pada frasa “akan dijadikan fakta lapangan sebagai bahan pertimbangan”.
Karena Kepmen ESDM No. 3606 K/40/MEM/2015 tentang Penetapan KBAK Pangkalan, berdasarkan pelaksanaan dan hasil evaluasi Badan Geologi yang salah kaprah, cacat prosedur, dan inkonstitusional, maka Kepmen tersebut bisa dikatakan cacat hukum. Sehingga, segala yang terkandung dalam keputusan tersebut termasuk keputusan pemerintah lainnya yang didasari putusan menteri ini, harus dibatalkan.
Penulis :
Asep Toha, Direktur Poslogis
Begitu juga dalam penetapan KBAK Pangkalan, Badan Geologi begitu mendominasi dalam melakukan penyelidikan dan pembahasan dalam penetapan KBAK Pangkalan. Namun, dalam pembahasan tersebut terdapat dugaan kekeliruan dan inkonstitusional dalam mengusulkan luas wilayah KBAK itu.
Dugaan kekeliruan dan inkonstitusional tersebut terlihat dalam Surat Dinas Perindustrian, Perdanganan, Pertambangan dan Energi (Disperindagtamben) Kabupaten Karawang Nomor 541.3/799/Tamben, yang ditujukan kepada Plt Bupati Karawang. Surat ini menerangkan agenda rapat pada tanggal 28 Nopember 2014.
Dalam surat tersebut, Badan Geologi menyampaikan, usulan KBAK berdasarkan data lama yang kemudian dilakukan kompilasi data, hasilnya menyebutkan bahwa luas Kars di Kabupaten Karawang setelah diploting seluas sekitar 2.016 ha. Dari luas tersebut, telah ditambang sekitar 67 ha dan hasil pendataan ulang luas yang ditambang bertambah menjadi 353 ha, lahannya di luar tanah kehutanan. Lahan seluas 353 ha tersebut tidak memenuhi kriteria kars sebagaimana Permen ESDM No. 17 tahun 2012 dan pemerintah tidak sanggup membeli lahan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan bertambah luas yang ditambang dari 67 ha menjadi 353 ha.
Ada dua hal yang patut kita bedah lebih lanjut dalam pernyataan pihak Badan Geologi tersebut. Yaitu pertama, Pihak Badan Geologi menyampaikan, karena dampak penambangan sehingga kawasan seluas 353 ha menjadi rusak, maka kawasan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria kars sebagaimana Permen ESDM No. 17 tahun 2012.
Jika penetapan KBAK adalah Permen ESDM No. 17 tahun 2012, berarti pertimbangannya harus menyeluruh atas semua isi dari Permen tersebut. Tidak hanya mengacu pada satu pasal saja, sebab dalam satu produk hukum, antara satu bagian dengan bagian yang lainnya saling keterkaitan. Begitu juga antara satu regulasi dengan regulasi lainnya saling berkaitan dan tidak boleh terjadi pertentangan diantaranya. Sementara Pihak Badan Geologi hanya mempertimbangkan kriteria saja, tidak mempertimbangkan hal lainnya, baik dalam Permen ESDM No. 17 tahun 2012, maupun peraturan perundangan lainnya.
Diantara pertimbangan lain itu adalah, kerusakan kars sebagai dampak pertambangan liar tidak bisa dijadikan dasar untuk dihapusnya lahan tersebut dari KBAK, sebab kerusakan bukan karena faktor alam atau bencana alam, melainkan faktor kesengajaan yang dilakukan oleh pertambangan bahkan termasuk dampak dari faktor kelalaian pemerintah dalam mengendalikan kegiatan pertambangan. Karena penyebab kerusakan adalah pertambangan, maka regulasi yang digunakan tidak lepas dari regulasi yang mengatur kegiatan pertambangan.
Dalam kegiatan pertambangan, tidak lepas dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bahwa dalam undang undang ini, ada yang disebut reklamasi dan pascatambang, yaitu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apalagi, kegiatan pertambangan tersebut dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki izin untuk melakukan pertambangan. Maka hukuman pidana sudah dapat diterapkan dengan pasal berlapis.
Sekilas saja sudah dapat kita jawab, bahwa pertambangan yang telah merusak wilayah kars tersebut, harus melakukan reklamasi dan kegiatan pascatambang untuk memulihkan dan mengembalikan kawasan KBAK Pangkalan, bukan malah menjadikan kawasan tersebut tidak lagi menjadi KBAK.
Pernyataan Badan Geologi yang mencoret wilayah seluas 353 ha dari KBAK, juga dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan hukum atas UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertaminerba, karena penyebab kerusakan adalah pertambangan, maka regulasi iniah yang digunakan sebagai acuannya.
Dalam UU No. 4 tahun 2009, ada yang disebut reklamasi dan pascatambang, yaitu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apalagi, kegiatan pertambangan tersebut dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki izin untuk melakukan pertambangan.
Sekilas saja sudah dapat kita jawab, bahwa pertambangan yang telah merusak wilayah kars tersebut, harus melakukan reklamasi dan kegiatan pascatambang untuk memulihkan dan mengembalikan kawasan KBAK Pangkalan, bukan malah menjadikan kawasan tersebut tidak lagi menjadi KBAK.
Justru seharusnya Badan Geologi merekomendasikan agar pemerintah dan pemerintah daerah melakukan penegakkan hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 158 sampai Pasal 165 UU No. 4 tahun 2009, Pasal 97 sampai Pasal 120, UU No. 32 tahun 2009, dan Pasal 94 sampai Pasal 96 UU No. 7 tahun 2004, serta memperkuat posisi kawasan tersebut sebagai KBAK Pangkalan, bukan malah mencoretnya.
Bahwa semua potensi yang termaktub dalam Perda RTRW Karawang yang telah menetapkan KBAK Pangkalan seluas 1012,9 ha, adalah penetapan yang telah mendapatkan kekuatan hukum, sehingga tidak bisa diubah dengan cara yang gegabah dan tidak mengindahkan peraturan perundangan yang lainnya, apalagi cengan cara yang inkonstitusional.
Kedua, Badan Geologi menyatakan, penyebab meluasnya lahan yang ditambang karena “pemerintah tidak sanggup membeli lahan tersebut. Pernyataan ini jelas mengada-ada, sebab sampai saat ini belum ditemukan tentang pernyataan dari pemerintah dan pemerintah daerah yang menyebutkan ketidaktersediannya anggaran dalam melakukan pembebasan lahan tersebut.
Dengan adanya pernyataan ini, Badan Geologi telah melanggar konstitusi, sebab Pasal 33, UUD 1945 menyebutkan, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, adalah sebuah kewajiban bagi negara untuk membebaskan lahan tersebut untuk dikuasai oleh negara, sehingga dalih dicoretnya lahan yang 353 ha dari KBAK karena negara tidak mampu menguasainya, adalah pernyataan inkonstitusional.
Padahal, dalam rapat tersebut pihak Bapeda Karawang menyampaikan, berdasarkan hasil konsultasi ke Bapeda Provinsi, lahan yang ditambang seluas 353 ha masuk ke kawasan yang tercantum dalam RTRW Karawang yang luasnya 1.012 ha, jangan sampai Bapeda Karawang dalam tekanan.
Kita ketahui bersama, bahwa Perda adalah produk hukum sebagai pengejowantahan dari buah pikir yang berdasarkan pertimbangan yuridis, filosofis, sosiologis, dan historis, sehingga penetapan KBAK Pangkalan dalam RTRW Karawang, memiliki landasan yang kuat sebagai kawasan yang harus dilindungi, bukan justru malah dikurangi dengan berbagai dalih yang irasional dan inkonstitusional.
Bahkan kesimpulan rapat mengamanatkan, “tidak akan mengeluarkan wilayah yang 353 ha dari KBAK tapi akan disampaikan sebagai fakta lapangan dalam usulan kepada Kementrian ESDM Cq Badan Geologi.”
Jika melihat fakta yang tertuang dalam SK menteri ESDM tentang KBAK Pangkalan, yang isinya KBAK Pangkalan mengerucut akibat dicoretnya wilayah yang rusak dari KBAK Pangakalan sampai 63%, terdapat ketidakfahaman atas frasa yang menyebutkan, “akan dijadikan fakta lapangan sebagai bahan pertimbangan”. Padahal, menurut pemahaman orang normal dengan berlandaskan berbagai peraturan perundangan dan konstitusi, maka lahan tersebut tetap harus dimasukan dalam KBAK Pangkalan, serta harus dilakukan reklamasi dan kegiatan paska tambang atas lahan yang rusak tersebut. Sebab, penekanan atau inti dari keputusan rapat tersebut adalah pada frasa “tidak akan mengeluarkan wilayah yang 353 ha dari KBAK Pangkalan”, bukan pada frasa “akan dijadikan fakta lapangan sebagai bahan pertimbangan”.
Karena Kepmen ESDM No. 3606 K/40/MEM/2015 tentang Penetapan KBAK Pangkalan, berdasarkan pelaksanaan dan hasil evaluasi Badan Geologi yang salah kaprah, cacat prosedur, dan inkonstitusional, maka Kepmen tersebut bisa dikatakan cacat hukum. Sehingga, segala yang terkandung dalam keputusan tersebut termasuk keputusan pemerintah lainnya yang didasari putusan menteri ini, harus dibatalkan.
Penulis :
Asep Toha, Direktur Poslogis
Tidak ada komentar